Rabu, 18 Mei 2016

Borneo, Celebes dan Aru



Perjalanan Alfred Wallace Russel
[resensi]

                Suatu ketika, saya diajak jalan2 ke toko buku (di daerah Jogja) sama temen saya.     Yah, karena saya jarang/bahkan gak pernah ke toko buku sebelumnya. Maka, Iseng-iseng saya ikut, sekalian kenalan sama Jogja (karena kebetulan itu tahun2 pertama saya di jogja). Hingga akhirnya, saya bertemu dengan rak/meja buku yang bertuliskan “Rp. 10.000 – Rp. 20.000”. yah, mungkin inilah salah satu alasan kenapa kemudian saya membeli buku “Borneo, Celebes dan Aru”, karangan Ilmuwan Biologi Alfred Wallace Russel.

Kalau mendengar kata Wallace, pasti kita akan terngiang-ngiang pelajaran SD atau SMP tentang suatu garis imajiner , tentang hewan-hewan yang berkantong (wilayahnya),hewan mamalia pemanjat dan hewan peralihan. Ya, beliau lah, bapak pencetus/penemu pembagian hewan di Indonesia berdasarkan garis Wallace (atas biogeografi Indonesia) , bapak Alfred Wallace Russel. Mungkin sepintas itu bukan suatu hal yang “heboh”/menggemparkan atau tidak begitu terasa langsung manfaatnya. Namun siapa sangka,berdasarkan penemuan teori itu yang kemudian melatarbelakangi munculnya salah satu teori (biologi) yang menggemparkan dunia, “EVOLUSI”.

                Ya, yang jelas buku ini merupakan buku biologi, terutama untuk pecinta lingkungan atau biologi makro. Buku ini merupakan bagian dari buku Alfred yang terkenal, yaitu The Malay Archipelago. Pada pengantar buku ini, dijelaskan bahwa Alfred Wallace Russel melakukan di pulau-pulau tersebut selama kurang lebih 8 Tahun (1854 – 1862). Dari perjalanan yang cukup lama tersebut, beliau berhasil mengumpulkan sejumlah 230 ribuan spesies fauna, FANTASTIS bukan?. Selain itu, dalam pengantar juga disebutkan bahwa Alfred adalah pengagum Charles Darwin. Hal ini ditunjukkan ketika Alfred sering mengirimkan surat yang disertai makalah-makalahnya kepada Darwin. Salah satu yang kemudian terkenal dan menjadi kerangka dasar teori seleksi alam Charles Darwin yakni On The Tendency of Varieties to Depart Indefinitely from the Original Type. Wow… ternyata dibalik teori terkenal/kontroversial Charles Darwin, ada cerita tersembunyi yang jarang terungkap yah…

 

                Secara umum, dalam buku ini menceritakan tentang perjalanan Wallace selama di Nusantara,semacam diari gitu. Cerita-cerita tersebut menjadi sangat menarik dan menjadi karya sastra (mungkin) karena penggambaran di dalam setiap cerita yang disampaikan Wallace begitu detail, seolah pembaca berada / akan dibawa ke waktu itu.  Seperti misal cerita saat gempa bumi di Celebes, yakni di Rurukan.

” Tana Goyang-Tana Goyang-Tana Goyang (Gempa Bumi!) setiap orang berarian keluar rumah mereka – para perempuan menjerit dan anak-anak menangis- dan saya pikir akan bijaksana untuk pergi keluar juga. ……..

Dengan jarak waktu 10 menit samapi 1 jam, guncangan dan getaran lemah terasa , kadang-kadang cukup kuat untuk mengusir kami semua keluar. Ada suatu campuran yang aneh antara takut dan lucu dalam situasi kami. ….

Pada satu sisi, fenomena alam yang paling mengerikan dan merusak sedang beraksi di sekitar kami. Di sisi lain pemandangan dari banyak laki-laki , perempuan, dan anak-anak yang berlarian ke dalam dan keluar rumah mereka, yang setiap kalinya terbukti bahwa itu kekhawatiran yang tidak beralasan……. .”

 

                Dari situ, beliau seolah terkesan dengan fenomena yang sedang terjadi, termasuk fenomena sosial yang ada. Selain itu, yang pasti adalah penggambaran fauna dan flora yang ada. Seperti misal ketika di Borneo :

“ … tanpa meluangkan banyak waktu untuk pencarian saya mengumpulkan  50 spesies pakis di Borneo, dan saya tidak ragu bahwa seorang ahli botani yang baik akan menemukan dua kali jumlah itu. Kelompok anggrek yang menarik sangat banyak jumlahnya, tetapi, pada umumnya, Sembilan per sepuluh dari spesiesnya memiliki bunga yang kecil dan tidak menarik perhatian. Yang merupakan pengecualian diantaranya adalah Coelogynes yang indah, yang berbunga kuning dalam kelompok besar menghiasi hutan-hutan suram, dan tumbuhan yang paling luar biasa, Vanda lowii, yang terdapat banyak terdapat di dekat beberapa mata air panas di kaki pegunungan Penin-jauh. Tumbuhan ini tumbuh di dahan-dahan pohon yang rendah, dan tandan bunganya yang aneh sering tergantung ke bawah sehingga hampir mencapai tanah. Biasanya panjangnya enam atau delapan kaki, memuat bunga-bunga berdiameter 3 inci yang lebar dan indah, dan warnanya beraneka ragam dari oranye sampai merah, dengan bintik-bintik ungu merah-tua. Saya mengukur satu tandan, yang panjangnya luar biasa, Sembilan kaki delapan inci dan memuat 32 pasang bunga, terangkai dalam bentuk spiral pada tangkai tipis yang seperti benang…”

                Beberapa  pertimbangan menurut teman saya (yang sering baca karya terjemahan), penerbit/penerjemah juga sangat berperan dalam kemudahan pembaca untuk memahami, dan untuk buku ini saya pribadi tidak terlalu banyak komen. Apakah buku ini “enak” dan mudah dipahami, atau sebaliknya.

Maklum,saya ra pati dong.an ncen orange. Haha…

 

                Di akhir cerita, saya mulai “berpikir-pikir”. Ketika barat dengan asyiknya sudah mulai menjarah kekayaan alam ilmu di tanah air (1854) , saya malah masih mikir-mikir saja, tanpa berbuat apa. Atau bahkan berdebat kusir di kursi kuliahan, tanpa hasil apa-apa. Haha…(serius ini).

Mungkin kita terpaut jauh (dengan barat). Bahkan kebabasan baru kita peroleh 1 abad berikutnya, baru sebuah kata “kebebasan” diteriakkan di Indonesia.

Tapi yang jelas, mari berdo.a. semoga orang-orang yang (terutama) seperti saya ini cepet sadar, dan mengerti bahkan lebih dari itu.

benar-benar di do’akan yah…

Amin.

Terima kasih.

 

Yogya-BWI

Januari 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar