“Jadi Guru itu tidak usah punya niat bikin pintar orang. Nanti kamu
hanya marah-marah ketika melihat muridmu tidak pintar. .... yang penting
menyampaikan ilmu dan mendidik yang baik. Masalah muridmu kelak jadi pintar
atau tidak, serahkan kepada Allah. Di do’akan saja terus menerus agar muridnya
mendapat hidayah” – KH Maimoen Zubeir
Ketika
penulis –yang kebetulan prodi kependidikan- sedang melakukan PLP (praktik
mengajar), beberapa poin yang penulis catat secara pribadi diantaranya yaitu terkait
keefektifan metode pembelajaran. Beberapa kali penulis menerapkan metode
pembelajaran semisal Problem Based Learning (PBL), Galery of Learning, Numbered
head together (NHT), dan beberapa lagi, muncul masalah lain yang dirasa
penulis, yaitu kurang maksimalnya konten pengajaran yang disampaikan. Hal ini
diakibatkan karena efek dari persiapan – persiapan yang perlu/dituntut dalam
pembelajaran tersebut. Seperti contoh, dalam metode PBL pengajar perlu mencari
masalah-masalah keseharian yang terkait dengan materi, umumnya permasalahan yang
diambil dari media massa, dalam metode Galery of Learning perlu
mempersiapkan peralatan – peralatan yang menunjang dalam pembelajaran seperti
pencil warna/spidol, kertas Bufallo, atau membuat skenario dalam pembelajaran
NHT. Di sisi lain, terdapat tuntutan administratif lain seperti membuat RPP,
soal-soal untuk ulangan, hingga PPT. Maka konten materi akan sedikit teralihkan
oleh berbagai hal tadi.
Perlu
penulis tekankan bahwa cerita pengalaman di atas bukan bermaksud membuat
semacam kesimpulan bahwa metode pembelajaran dapat mengurangi efektifitas pembelajaran.
Hal tersebut sungguhlah kurang sopan dan pastinya kurang valid dan tidak ilmiah.
Namun, pengalaman di atas membuat penulis setidaknya melakukan refleksi dan
evaluasi, apakah semua metode bisa diterapkan di semua kondisi “lapangan”? apa
esensi penggunaan metode pembelajaran itu? Dalam skala prioritas, manakah hal
yang paling penting/ didahulukan diantara Konten (pengetahuan) materi, metode,
silabus, RPP, media, sumber belajar? Atau bagaimana pembelajaran yang efektif
itu?
Seperti
yang kita ketahui, pembelajaran merupakan suatu proses. Sejalan dengan dawuh kanjeng Nabi bahwa pembelajaran
merupakan proses yang berlangsung sepanjang hayat. Pembelajaran yang akhirnya
menghasilkan suatu pengalaman dan sikap/ akhlaq-akhlaq yang sewajarnya dimiliki
oleh para pembelajar. Proses pembelajaran bisa dilaksanakan dimana saja dan
kapan saja, selama ada sarana dan sumber untuk belajar. Namun untuk pembelajaran
di dalam kelas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Seperti halnya menurut
Trianto , terkait pembelajaran di kelas adalah usaha sadar dari seorang guru
untuk membelajarkan siswanya (mengarahkan siswa dengan sumber belajar lainnya)
dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan. Maka keberadaan guru merupakan
salah satu faktor yang penting dalam suatu proses pembelajaran.
Salah
satu yang hal yang dilakukan guru/tenaga pengajar pastinya adalah mengajar. Entah
mengajar dengan metode-metode tertentu ataukah hanya mengajar saja (ceramah). Mengajar
pada intinya adalah proses interaksi pengetahuan antara siswa dengan guru.
Menurut Gus Mus, mengajar berbeda dengan mendidik. Mengajar lebih cenderung menyampaikan
informasi atau pengetahuan. Sedangkan mendidik lebih pada membentuk karakter
dan bahkan membimbingnya menuju kesejatian dirinya. Seperti contoh ketika
mendengar kisah KH Ali Maksum Krapyak (terutama ketika haul) yang mengajar dan mendidik
para santri hingga santrinya “menjadi orang” dengan bermacam – macam karakter,
seperti politisi, budayawan, pemimpin, hingga kyai yang berperan ganda (tidak
hanya kyai). Hal ini secara sederhana digambarkan dalam film anime jepang yang
berjudul Assasination Classroom, terdapat karakter seorang guru yang
mampu mengajar dan mendidik, serta mengembangkan masing-masing jati diri dari
para siswanya. Maka dari itu, porsi mendidik akan jauh lebih berat dibandingkan
dengan porsi mengajar.
Menurut
penulis, meski film ini berisi tentang suatu kelas yang didik untuk membunuh
(sesuai judulnya), namun film ini mengandung positif lain, yakni kritik
terhadap suatu sistem pendidikan. Sistem pendidikan yang ternyata malah
“menghasilkan” siswa yang pintar dan siap untuk kerja tanpa memperhatikan
keinginan sejati si siswa. Bukan menjadikan siswa menjadi “dirinya sendiri”.
Dalam film tersebut diceritakan bahwa terdapat suatu sekolah elit yang memiliki
sistem sekolah yang ketat. Semua murid harus bersaing dan berkompetisi untuk
mendapatkan peringkat di kelasnya. Dan ketika mereka mendapat peringkat
terburuk di kelasnya, mereka akan “diasingkan” di kelas E, kelas yang mendapat
stempel kelas terburuk atau kelas “buangan” siswa-siswa peringkat terbawah dari
kelas lain. Kelas itu pun ter-isolasi jauh dari gedung utama sehingga membuat
siswa yang berada di kelas tersebut malah memiliki mental yang pesimistis dan
enggan untuk belajar. Namun, suatu ketika ada seorang mahkluq (seperti alien)
super yang datang dan menjadi guru sekaligus walikelas di kelas itu. Singkat
cerita, dengan gaya mengajar yang khas dan sangat memahami karakter masing –
masing siswa di kelas E, guru tersebut –yang bernama guru Koro- dapat
meningkatkan kemampuan dan karakter masing – masing individu dan bahkan dapat
mengalahkan kelas favorit (kelas A), baik dalam bidang olahraga bahkan dalam
bidang mata pelajaran.
Salah
satu hal yang menarik dan menjadi perhatian penulis adalah cara guru mendekati
para siswa. Guru tersebut selalu berusaha mendekati siswa dengan berbagai macam
cara sesuai dengan karakter siswa itu sendiri. Seperti contoh ada seorang siswa
yang jenius dan usil (diperankan oleh Karma), guru tersebut mendekatinya dengan
sindiran dan keusilan yang membangun, hingga memberinya kesempatan mengajar
teman sebayanya. Hal tersebut menimbulkan motivasi dan rasa solidaritas
terhadap sesama temannya. Ada juga karakter seorang yang cukup pintar, baik,
tenang dan cukup pendiam (diperankan oleh Nagisa). Guru tersebut memanfaatkan
ketenangannya untuk melawan beberapa “musuh” pembunuh yang cukup berbahaya.
Sehingga kepercayaan siswa tersebut berkembang dan motivasi belajarnya juga
meningkat. Dan beberapa siswa lain juga, seperti terdapat siswa yang suka
sains, maka guru tersebut membebaskannya untuk meneliti dan memberinya sedikit
nasehat yang bijak, siswa yang suka novel/sastra maka guru tersebut akan
memberinya berbagai karya sastra dunia, dan lain lain. Dan yang terpenting,
guru tersebut selalu “mendampinginya”.
Film
ini mengingatkan penulis pada dawuh Sunan Bonang yang berbunyi ; menehono
teken marang wong kang wuto,menehono mangan marang wong kang luwe,.... (dalam
Kumpulan Esai D. Zawawi Imron, 2000). Bagaimana kalau semisal memaksakan
seorang murid untuk hapal dan pintar biologi, padahal ternyata murid itu suka
menghitung, suka bersosial, suka elektronik. Bagaimana jika murid itu hanya membutuhkan
tongkat saja, namun disediakan berbagai metode pembelajaran yang menyediakan
nasi, berbagai macam lauk pauk, aneka jus buah dan makanan lain?
Meskipun
di film tersebut tidak menampilkan secara keseluruhan sistem pengajaran di
kelas – semisal terkait metode pembelajaran - , namun secara umum dapat
ditangkap beberapa pesan (menurut penulis) yaitu pertama seorang
guru/pengajar harus menguasai materinya. Kedua, seorang guru ternyata
tidak harus membuat semua siswa
pintar tentang bidang materi tertentu meski tetap harus berusaha menyampaikan
konten materi secara maksimal. Ketiga, hal yang terpenting dalam
pembelajaran adalah bagaimana membuat seseorang dapat belajar. Keempat,
seorang guru idealnya benar-benar mengetahui karakter berbagai macam siswanya,
sehingga tidak salah memberikan tongkat atau nasi?
Bagaimana
kalau siswanya banyak sekali? Ya, mungkin ngikut dawuhnya Kyai Maimoen yang di
atas saja.
Dan Bukankah
dalam Al Qur’an sendiri, banyak ayat yang menegaskan bahwasanya malah ilmu,
hidayah, itu adalah urusan Allah SWT. Seperti diantaranya termaktub dalam Q.S
Al Baqoroh : 32, 255, Q.S Al Qoshosh : 56, Q.S. Yunus ; 25, Q.S. Ar Ra’du : 27,
Q.S. Ibrohim : 4, Q.S. An Nahl : 93, Q.S. Fathir : 8, Q.S. Al Mudatssir : 31,
dll ?
Lantas,
bagaimanakah metode pembelajaran yang efektif itu? Jangan – jangan, masalah di
atas (tentang pembelajaran selama masa PLP) hanya murni kesalahan penulis
belaka, yang memang butuh banyak jam terbang lagi.
Diakhir
tulisan ini, penulis teringat salah satu puisi (kyai) D. Zawawi Imron yang berbunyi ;
.... Dubur Ayam yang mengeluarkan telur, lebih mulya dari mulut intelektual
yang menjanjikan telur.
Wallahu
a’alam
Beberapa
rekomendasi bacaan :
Imron,
D. Zawawi. 2001. Gumam-gumam dari Dusun ; Indonesia di Mata seorang Santri. Bandung
: Pustaka Hidayah.
Trianto.
2010. Model pembelajaran terpadu dalam teori dan praktek. Jakarta:Prestasi
Pustaka
Beberapa
video ceramah Gus Mus dan Pembacaan Puisi D. Zawawi Imron
*) Untuk memenuhi tugas
Madrasah Diniyyah mata pelajaran Teknologi Pembelajaran pengampu Ust. Akhda
Najmu Tsakib