Rabu, 25 Mei 2016

Serasah

oleh : Imam hr Mahtum


Dedaunan kian me-maroon kan warnanya

Rebut riuh berdesakan dengan yang coklat keemasan

berebut tempat

Tuk sekedar mengisi taman – taman

Kehidupan

 

Bersama gelitikan angin-angin

Terbanglah para daun

Dengan detik-detik waktu

Tuk sekedar memamerkan keromantisan

Di bawah rona-rona langit itu

 

Serasah…

Sebagaimana yang tak terhiraukan

Kau yang menyebabkan humus itu ada

Tuk bekal kehidupan di masa depan

 

Yogyakarta, Sya’ban 1435 H

Rabu, 18 Mei 2016

Borneo, Celebes dan Aru



Perjalanan Alfred Wallace Russel
[resensi]

                Suatu ketika, saya diajak jalan2 ke toko buku (di daerah Jogja) sama temen saya.     Yah, karena saya jarang/bahkan gak pernah ke toko buku sebelumnya. Maka, Iseng-iseng saya ikut, sekalian kenalan sama Jogja (karena kebetulan itu tahun2 pertama saya di jogja). Hingga akhirnya, saya bertemu dengan rak/meja buku yang bertuliskan “Rp. 10.000 – Rp. 20.000”. yah, mungkin inilah salah satu alasan kenapa kemudian saya membeli buku “Borneo, Celebes dan Aru”, karangan Ilmuwan Biologi Alfred Wallace Russel.

Kalau mendengar kata Wallace, pasti kita akan terngiang-ngiang pelajaran SD atau SMP tentang suatu garis imajiner , tentang hewan-hewan yang berkantong (wilayahnya),hewan mamalia pemanjat dan hewan peralihan. Ya, beliau lah, bapak pencetus/penemu pembagian hewan di Indonesia berdasarkan garis Wallace (atas biogeografi Indonesia) , bapak Alfred Wallace Russel. Mungkin sepintas itu bukan suatu hal yang “heboh”/menggemparkan atau tidak begitu terasa langsung manfaatnya. Namun siapa sangka,berdasarkan penemuan teori itu yang kemudian melatarbelakangi munculnya salah satu teori (biologi) yang menggemparkan dunia, “EVOLUSI”.

                Ya, yang jelas buku ini merupakan buku biologi, terutama untuk pecinta lingkungan atau biologi makro. Buku ini merupakan bagian dari buku Alfred yang terkenal, yaitu The Malay Archipelago. Pada pengantar buku ini, dijelaskan bahwa Alfred Wallace Russel melakukan di pulau-pulau tersebut selama kurang lebih 8 Tahun (1854 – 1862). Dari perjalanan yang cukup lama tersebut, beliau berhasil mengumpulkan sejumlah 230 ribuan spesies fauna, FANTASTIS bukan?. Selain itu, dalam pengantar juga disebutkan bahwa Alfred adalah pengagum Charles Darwin. Hal ini ditunjukkan ketika Alfred sering mengirimkan surat yang disertai makalah-makalahnya kepada Darwin. Salah satu yang kemudian terkenal dan menjadi kerangka dasar teori seleksi alam Charles Darwin yakni On The Tendency of Varieties to Depart Indefinitely from the Original Type. Wow… ternyata dibalik teori terkenal/kontroversial Charles Darwin, ada cerita tersembunyi yang jarang terungkap yah…

 

                Secara umum, dalam buku ini menceritakan tentang perjalanan Wallace selama di Nusantara,semacam diari gitu. Cerita-cerita tersebut menjadi sangat menarik dan menjadi karya sastra (mungkin) karena penggambaran di dalam setiap cerita yang disampaikan Wallace begitu detail, seolah pembaca berada / akan dibawa ke waktu itu.  Seperti misal cerita saat gempa bumi di Celebes, yakni di Rurukan.

” Tana Goyang-Tana Goyang-Tana Goyang (Gempa Bumi!) setiap orang berarian keluar rumah mereka – para perempuan menjerit dan anak-anak menangis- dan saya pikir akan bijaksana untuk pergi keluar juga. ……..

Dengan jarak waktu 10 menit samapi 1 jam, guncangan dan getaran lemah terasa , kadang-kadang cukup kuat untuk mengusir kami semua keluar. Ada suatu campuran yang aneh antara takut dan lucu dalam situasi kami. ….

Pada satu sisi, fenomena alam yang paling mengerikan dan merusak sedang beraksi di sekitar kami. Di sisi lain pemandangan dari banyak laki-laki , perempuan, dan anak-anak yang berlarian ke dalam dan keluar rumah mereka, yang setiap kalinya terbukti bahwa itu kekhawatiran yang tidak beralasan……. .”

 

                Dari situ, beliau seolah terkesan dengan fenomena yang sedang terjadi, termasuk fenomena sosial yang ada. Selain itu, yang pasti adalah penggambaran fauna dan flora yang ada. Seperti misal ketika di Borneo :

“ … tanpa meluangkan banyak waktu untuk pencarian saya mengumpulkan  50 spesies pakis di Borneo, dan saya tidak ragu bahwa seorang ahli botani yang baik akan menemukan dua kali jumlah itu. Kelompok anggrek yang menarik sangat banyak jumlahnya, tetapi, pada umumnya, Sembilan per sepuluh dari spesiesnya memiliki bunga yang kecil dan tidak menarik perhatian. Yang merupakan pengecualian diantaranya adalah Coelogynes yang indah, yang berbunga kuning dalam kelompok besar menghiasi hutan-hutan suram, dan tumbuhan yang paling luar biasa, Vanda lowii, yang terdapat banyak terdapat di dekat beberapa mata air panas di kaki pegunungan Penin-jauh. Tumbuhan ini tumbuh di dahan-dahan pohon yang rendah, dan tandan bunganya yang aneh sering tergantung ke bawah sehingga hampir mencapai tanah. Biasanya panjangnya enam atau delapan kaki, memuat bunga-bunga berdiameter 3 inci yang lebar dan indah, dan warnanya beraneka ragam dari oranye sampai merah, dengan bintik-bintik ungu merah-tua. Saya mengukur satu tandan, yang panjangnya luar biasa, Sembilan kaki delapan inci dan memuat 32 pasang bunga, terangkai dalam bentuk spiral pada tangkai tipis yang seperti benang…”

                Beberapa  pertimbangan menurut teman saya (yang sering baca karya terjemahan), penerbit/penerjemah juga sangat berperan dalam kemudahan pembaca untuk memahami, dan untuk buku ini saya pribadi tidak terlalu banyak komen. Apakah buku ini “enak” dan mudah dipahami, atau sebaliknya.

Maklum,saya ra pati dong.an ncen orange. Haha…

 

                Di akhir cerita, saya mulai “berpikir-pikir”. Ketika barat dengan asyiknya sudah mulai menjarah kekayaan alam ilmu di tanah air (1854) , saya malah masih mikir-mikir saja, tanpa berbuat apa. Atau bahkan berdebat kusir di kursi kuliahan, tanpa hasil apa-apa. Haha…(serius ini).

Mungkin kita terpaut jauh (dengan barat). Bahkan kebabasan baru kita peroleh 1 abad berikutnya, baru sebuah kata “kebebasan” diteriakkan di Indonesia.

Tapi yang jelas, mari berdo.a. semoga orang-orang yang (terutama) seperti saya ini cepet sadar, dan mengerti bahkan lebih dari itu.

benar-benar di do’akan yah…

Amin.

Terima kasih.

 

Yogya-BWI

Januari 2014

Rabu, 11 Mei 2016

Efektifitas Metode Pembelajaran : menelaah film Anime Assasination Classroom *)


 

 

“Jadi Guru itu tidak usah punya niat bikin pintar orang. Nanti kamu hanya marah-marah ketika melihat muridmu tidak pintar. .... yang penting menyampaikan ilmu dan mendidik yang baik. Masalah muridmu kelak jadi pintar atau tidak, serahkan kepada Allah. Di do’akan saja terus menerus agar muridnya mendapat hidayah” – KH Maimoen Zubeir


Ketika penulis –yang kebetulan prodi kependidikan- sedang melakukan PLP (praktik mengajar), beberapa poin yang penulis catat secara pribadi diantaranya yaitu terkait keefektifan metode pembelajaran. Beberapa kali penulis menerapkan metode pembelajaran semisal Problem Based Learning (PBL), Galery of Learning, Numbered head together (NHT), dan beberapa lagi, muncul masalah lain yang dirasa penulis, yaitu kurang maksimalnya konten pengajaran yang disampaikan. Hal ini diakibatkan karena efek dari persiapan – persiapan yang perlu/dituntut dalam pembelajaran tersebut. Seperti contoh, dalam metode PBL pengajar perlu mencari masalah-masalah keseharian yang terkait dengan materi, umumnya permasalahan yang diambil dari media massa, dalam metode Galery of Learning perlu mempersiapkan peralatan – peralatan yang menunjang dalam pembelajaran seperti pencil warna/spidol, kertas Bufallo, atau membuat skenario dalam pembelajaran NHT. Di sisi lain, terdapat tuntutan administratif lain seperti membuat RPP, soal-soal untuk ulangan, hingga PPT. Maka konten materi akan sedikit teralihkan oleh berbagai hal tadi.

Perlu penulis tekankan bahwa cerita pengalaman di atas bukan bermaksud membuat semacam kesimpulan bahwa metode pembelajaran dapat mengurangi efektifitas pembelajaran. Hal tersebut sungguhlah kurang sopan dan pastinya kurang valid dan tidak ilmiah. Namun, pengalaman di atas membuat penulis setidaknya melakukan refleksi dan evaluasi, apakah semua metode bisa diterapkan di semua kondisi “lapangan”? apa esensi penggunaan metode pembelajaran itu? Dalam skala prioritas, manakah hal yang paling penting/ didahulukan diantara Konten (pengetahuan) materi, metode, silabus, RPP, media, sumber belajar? Atau bagaimana pembelajaran yang efektif itu?

Seperti yang kita ketahui, pembelajaran merupakan suatu proses. Sejalan dengan  dawuh kanjeng Nabi bahwa pembelajaran merupakan proses yang berlangsung sepanjang hayat. Pembelajaran yang akhirnya menghasilkan suatu pengalaman dan sikap/ akhlaq-akhlaq yang sewajarnya dimiliki oleh para pembelajar. Proses pembelajaran bisa dilaksanakan dimana saja dan kapan saja, selama ada sarana dan sumber untuk belajar. Namun untuk pembelajaran di dalam kelas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Seperti halnya menurut Trianto , terkait pembelajaran di kelas adalah usaha sadar dari seorang guru untuk membelajarkan siswanya (mengarahkan siswa dengan sumber belajar lainnya) dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan. Maka keberadaan guru merupakan salah satu faktor yang penting dalam suatu proses pembelajaran.

Salah satu yang hal yang dilakukan guru/tenaga pengajar pastinya adalah mengajar. Entah mengajar dengan metode-metode tertentu ataukah hanya mengajar saja (ceramah). Mengajar pada intinya adalah proses interaksi pengetahuan antara siswa dengan guru. Menurut Gus Mus, mengajar berbeda dengan mendidik. Mengajar lebih cenderung menyampaikan informasi atau pengetahuan. Sedangkan mendidik lebih pada membentuk karakter dan bahkan membimbingnya menuju kesejatian dirinya. Seperti contoh ketika mendengar kisah KH Ali Maksum Krapyak (terutama ketika haul) yang mengajar dan mendidik para santri hingga santrinya “menjadi orang” dengan bermacam – macam karakter, seperti politisi, budayawan, pemimpin, hingga kyai yang berperan ganda (tidak hanya kyai). Hal ini secara sederhana digambarkan dalam film anime jepang yang berjudul Assasination Classroom, terdapat karakter seorang guru yang mampu mengajar dan mendidik, serta mengembangkan masing-masing jati diri dari para siswanya. Maka dari itu, porsi mendidik akan jauh lebih berat dibandingkan dengan porsi mengajar.

Menurut penulis, meski film ini berisi tentang suatu kelas yang didik untuk membunuh (sesuai judulnya), namun film ini mengandung positif lain, yakni kritik terhadap suatu sistem pendidikan. Sistem pendidikan yang ternyata malah “menghasilkan” siswa yang pintar dan siap untuk kerja tanpa memperhatikan keinginan sejati si siswa. Bukan menjadikan siswa menjadi “dirinya sendiri”. Dalam film tersebut diceritakan bahwa terdapat suatu sekolah elit yang memiliki sistem sekolah yang ketat. Semua murid harus bersaing dan berkompetisi untuk mendapatkan peringkat di kelasnya. Dan ketika mereka mendapat peringkat terburuk di kelasnya, mereka akan “diasingkan” di kelas E, kelas yang mendapat stempel kelas terburuk atau kelas “buangan” siswa-siswa peringkat terbawah dari kelas lain. Kelas itu pun ter-isolasi jauh dari gedung utama sehingga membuat siswa yang berada di kelas tersebut malah memiliki mental yang pesimistis dan enggan untuk belajar. Namun, suatu ketika ada seorang mahkluq (seperti alien) super yang datang dan menjadi guru sekaligus walikelas di kelas itu. Singkat cerita, dengan gaya mengajar yang khas dan sangat memahami karakter masing – masing siswa di kelas E, guru tersebut –yang bernama guru Koro- dapat meningkatkan kemampuan dan karakter masing – masing individu dan bahkan dapat mengalahkan kelas favorit (kelas A), baik dalam bidang olahraga bahkan dalam bidang mata pelajaran.

Salah satu hal yang menarik dan menjadi perhatian penulis adalah cara guru mendekati para siswa. Guru tersebut selalu berusaha mendekati siswa dengan berbagai macam cara sesuai dengan karakter siswa itu sendiri. Seperti contoh ada seorang siswa yang jenius dan usil (diperankan oleh Karma), guru tersebut mendekatinya dengan sindiran dan keusilan yang membangun, hingga memberinya kesempatan mengajar teman sebayanya. Hal tersebut menimbulkan motivasi dan rasa solidaritas terhadap sesama temannya. Ada juga karakter seorang yang cukup pintar, baik, tenang dan cukup pendiam (diperankan oleh Nagisa). Guru tersebut memanfaatkan ketenangannya untuk melawan beberapa “musuh” pembunuh yang cukup berbahaya. Sehingga kepercayaan siswa tersebut berkembang dan motivasi belajarnya juga meningkat. Dan beberapa siswa lain juga, seperti terdapat siswa yang suka sains, maka guru tersebut membebaskannya untuk meneliti dan memberinya sedikit nasehat yang bijak, siswa yang suka novel/sastra maka guru tersebut akan memberinya berbagai karya sastra dunia, dan lain lain. Dan yang terpenting, guru tersebut selalu “mendampinginya”.

Film ini mengingatkan penulis pada dawuh Sunan Bonang yang berbunyi ; menehono teken marang wong kang wuto,menehono mangan marang wong kang luwe,.... (dalam Kumpulan Esai D. Zawawi Imron, 2000). Bagaimana kalau semisal memaksakan seorang murid untuk hapal dan pintar biologi, padahal ternyata murid itu suka menghitung, suka bersosial, suka elektronik. Bagaimana jika murid itu hanya membutuhkan tongkat saja, namun disediakan berbagai metode pembelajaran yang menyediakan nasi, berbagai macam lauk pauk, aneka jus buah dan makanan lain?

Meskipun di film tersebut tidak menampilkan secara keseluruhan sistem pengajaran di kelas – semisal terkait metode pembelajaran - , namun secara umum dapat ditangkap beberapa pesan (menurut penulis) yaitu pertama seorang guru/pengajar harus menguasai materinya. Kedua, seorang guru ternyata tidak harus membuat semua  siswa pintar tentang bidang materi tertentu meski tetap harus berusaha menyampaikan konten materi secara maksimal. Ketiga, hal yang terpenting dalam pembelajaran adalah bagaimana membuat seseorang dapat belajar. Keempat, seorang guru idealnya benar-benar mengetahui karakter berbagai macam siswanya, sehingga tidak salah memberikan tongkat atau nasi?

Bagaimana kalau siswanya banyak sekali? Ya, mungkin ngikut dawuhnya Kyai Maimoen yang di atas saja.

Dan Bukankah dalam Al Qur’an sendiri, banyak ayat yang menegaskan bahwasanya malah ilmu, hidayah, itu adalah urusan Allah SWT. Seperti diantaranya termaktub dalam Q.S Al Baqoroh : 32, 255, Q.S Al Qoshosh : 56, Q.S. Yunus ; 25, Q.S. Ar Ra’du : 27, Q.S. Ibrohim : 4, Q.S. An Nahl : 93, Q.S. Fathir : 8, Q.S. Al Mudatssir : 31, dll ?

Lantas, bagaimanakah metode pembelajaran yang efektif itu? Jangan – jangan, masalah di atas (tentang pembelajaran selama masa PLP) hanya murni kesalahan penulis belaka, yang memang butuh banyak jam terbang lagi.

Diakhir tulisan ini, penulis teringat salah satu puisi  (kyai) D. Zawawi Imron yang berbunyi ; .... Dubur Ayam yang mengeluarkan telur, lebih mulya dari mulut intelektual yang menjanjikan telur.

Wallahu a’alam

 

Beberapa rekomendasi bacaan :

Imron, D. Zawawi. 2001. Gumam-gumam dari Dusun ; Indonesia di Mata seorang Santri. Bandung : Pustaka Hidayah.

Trianto. 2010. Model pembelajaran terpadu dalam teori dan praktek. Jakarta:Prestasi Pustaka

Beberapa video ceramah Gus Mus dan Pembacaan Puisi D. Zawawi Imron

 *)  Untuk memenuhi tugas Madrasah Diniyyah mata pelajaran Teknologi Pembelajaran pengampu Ust. Akhda Najmu Tsakib